Selasa, Juni 16, 2009

Kematian Aneh Para Pesohor Dunia

Ada banyak cara untuk mati. Tapi tahukah anda, cara mati aneh dialami oleh para pesohor dunia. Jean Baptiste Lully merupakan konduktor yang memimpin orkestra pada perayaan kesembuhan Louis XIV dari sakitnya pada tahun 1687. Karena terlalu bersemangat, ia menjatuhkan tongkat konduktor tepat pada ibu jari kakinya. Terjadi abses (infeksi dengan nanah) dan diikuti gangren (pembusukan). Lully menolak amputasi, dan akhirnya ia pun tewas karena infeksi yang menyebar ke seluruh tubuh. Bobby Leach (1858-1926) seorang pemeran pengganti meninggal tahun 1926, dua bulan setelah tungkainya diamputasi gara-gara terpeleset kulit jeruk di jalanan, di Selandia Baru. Tungkainya patah dan terjadi infeksi berat. Saat itu belum ada antibiotic.

Isadora Duncan (1877-1927) seorang tokoh tarian modern, mati gara-gara selendang. Pada September 1927, ia sedang naik mobil berkecepatan tinggi, dengan jendela terbuka. Saat itu ia memakai selendang yang berukuran besar. Karena selendangnya “terbang” sampai ke ban mobil, ia tercekik seketika dari jendela mobil. Leslie Harvey, gitaris Stone the Crows, meninggal pada tahun 1972 karena tersengat listrik dari mikrofon yang ia gunakan di panggung konser. Victor Morrow (1929-1982) dan 2 orang aktor anak yang bersamanya tewas karena terpenggal baling-baling helikopter saat sedang syuting untuk film Twilight Zone, pada tahun 1982. Kasus ini mendorong pemerintah Amerika Serikat merevisi undang-undang perlindungan tenaga kerja anak dan peraturan keamanan serta jaminan keselamatan di lokasi syuting.

Tennessee Williams (1911-1983), penulis drama Amerika Serikat, tewas karena tercekik tutup botol yang tertelan saat ia mabuk di sebuah hotel di New York. Dick Shawn (1924-1987) sedang melawak tentang kampanye politik di Amerika Serikat. Setelah mengatakan “I will not lay down on the job!” (Saya tidak akan meletakkan jabatan!), ia langsung terbaring di lantai. Penonton mengira itu adalah bagian dari lelucon. Tapi karena ia tak bangun-bangun lagi, beberapa petugas panggung pun memeriksanya dan memberikan napas darurat. Tidak lama kemudian ia pun meninggal.

Sumber : Sumatera Ekspres, 16 Juni 2009

Rabu, Juni 10, 2009

Suramadu, Penerus Mimpi Besar Bangsa Indonesia

Tuntasnya pembangunan jembatan Suramadu sudah ada di depan mata. Mimpi berpuluh-puluh tahun itu akhirnya menjelma nyata. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hari ini meresmikan jembatan sepanjang 5.438 meter yang menghubungkan Pulau Jawa (Surabaya) dan Pulau Madura (Bangkalan) itu. Proses panjang dan berliku harus dilalui untuk sampai pada momen bersejarah itu. Suramadu berawal dari usul brilian guru besar ITB (Institut Teknologi Bandung) Prof Dr Setyadmo (alm) pada 1960-an untuk membangun jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dengan tiga pulau di sekitarnya (Sumatra, Bali, dan Madura).

Ide yang dinilai gila pada zamannya itu ternyata disambut positif Presiden Soekarno. Pada 1965, dibuat desain jembatan melintasi Selat Sunda, Selat Madura, dan Selat Bali. Sayang, hiruk-pikuk politik sempat menenggelamkan ide proyek ambisius tersebut. Gagasan dan konsep pengembangan jembatan antarpulau baru mengapung lagi 20 tahun kemudian. Pada 1986, penguasa Orde Baru Soeharto mengonkretkan gagasan Prof Dr Setyadmo dengan mencanangkan proyek Tri Nusa Bima Sakti. Menristek dan Kepala BPPT saat itu, B.J. Habibie, mendapat tugas mengkaji pembangunan tiga jembatan spektakuler itu. Dari tiga jembatan, tim Habibie menyatakan, secara teknologi dan finansial, tahap awal lebih memungkinkan menyatukan Pulau Jawa dengan Madura. Keinginan merealisasikan jembatan Suramadu makin mengebu, pada awal 1990-an gubernur Jatim saat itu dijabat Soelarso.

Pada era Gubernur Soe larso itulah, mulai dilakukan pembebasan lahan di sisi Surabaya maupun Kamal, Kabupaten Bangkalan, Madura. Krisis moneter pada 1998 kembali membuat perjalanan proyek Suramadu tertatih-tatih. Baru saat Megawati Soekarnoputri menduduki kursi presiden, pembangunan pertama Suramadu dimulai, dan diresmikan pada 20 Agustus 2003. Setelah enam tahun masa pembangunan, hari ini, 10 Juni 2009, bangunan yang akan menjadi landmark Indonesia itu selesai. Tak hanya menempuh rentang waktu hampir setengah abad, proyek Jembatan Suramadu juga melibatkan tenaga kerja 3.500 orang, menghabiskan 28 ribu ton baja dan 600 ribu ton campuran baja, dan menyedot dana negara Rp 4,5 triliun.

Mahal dan melelahkan, tapi apalah artinya itu semua dibanding tumbuhnya kembali kebanggaan masyarakat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berhasil mewujudkan mimpi-mimpi besarnya. Sudah terlalu lama bangsa besar ini sangsi dengan kemampuannya. Padahal, di abad ke-12, Wangsa Syailendra, pernah memberi bukti dengan membangun Candi Borobudur. Sekarang Borobudur selalu mengingatkan dunia terhadap sejarah kebesaran Indonesia zaman dahulu. Presiden Soekarno pernah membubungkan kembali kebanggaan negeri ini dengan menuntaskan megaproyek Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, dan Menara Monas pada 60-an. Meski awalnya harus menerima cemooh, Soekarno terus maju.

Kini, Monas, Gelora Bung Karno, dan Hotel Indonesia, tetap berdiri dan menjadi salah satu kebanggaan nasional. Belajar dari Syailendra dan Soekarno, selesainya pembangunan Suramadu adalah momentum besar yang patut disambut penerus mimpi besar bangsa. Pada momentum mendekati prosesi pemilihan pemimpin negeri, perlu diingatkan, kita tidak akan pernah memiliki apa pun bila setiap kali pergantian pemimpin tidak terjadi estafet mimpi besar pendahulunya. Karena itu, siapa pun pemimpin negeri ini ke depan harus melanjutkan dan senantiasa melindungi Suramadu.

Sumber : Jawa Pos, 10 Juni 2009

Horor Indonesia Laris di Cannes

Di antara 19 judul film Indonesia yang dijual di booth Festival Film Cannes, Prancis, belum lama ini, ada enam judul film yang mendapatkan perhatian pasar internasional. Ajaibnya, empat di antaranya film horor. Beberapa negara menyatakan minat untuk membelinya. Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film (NBSF) di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) merilis enam judul film itu. Yakni, Kereta Hantu Manggarai, Kuntilanak 3, Mati Suri, Pulau Hantu, Ayat-Ayat Cinta, dan Eiffel I’m in Love.

Hanya film Pulau Hantu yang masih dalam negosiasi dengan negara Jepang dan Prancis. Selebihnya telah menarik minat para distributor film dari Korea, Belgia, Amerika Serikat, Itali, Jerman, Argentina, India, Jepang, dan Prancis. Sejak dua tahun lalu, Depbudpar memang rajin membuka stan untuk menjajakan karya film lokal agar bisa dipasarkan secara internasional. Di antara 19 film yang di bawa, tujuh film bergenre horor dan empat di antaranya terbilang laris di salah satu festival film paling bergengsi di dunia itu. Padahal, Direktur Film NBSF Ukus Kuswara mengatakan, film horor bukan termasuk film unggulan dari Indonesia. Yang diunggulkan justru film-film yang dianggap mewakili budaya dan kondisi negara Indonesia, seperti Jamila dan Sang Presiden, Ayat-Ayat Cinta, Generasi Biru, atau Queen Bee.

Meski begitu, kata Ukus, tetap saja film horor harus diboyong ke Cannes karena film tersebut memiliki nilai seni dan sedang populer. ”Sebetulnya, film itu mencerminkan kondisi seni dan kreativitas pada zamannya. Sehingga, yang kami kirim itu tidak mesti mewakili budaya. Jadi, lebih karena kreativitas yang terbangun. Saat ini kan lebih banyak film horor,” terang Ukus. Produser film Shankar Bsc menyambut baik larisnya film horor di pasar internasional tersebut. Hal itu, kata dia, menjadi pertanda bahwa film horor Indonesia sudah setara dengan film horor dari negara lain, terutama dari Asia. ”Saya pikir kala pemerintah sudah membawa film Indonesia ke luar negeri, itu suatu hal yang positif. Terlepas bersaing apa tidak, yang penting sudah bisa meramaikan festival internasional.

Tapi, kalau mau dibandingkan, film horor indonesia susah setara dengan film Thailand,” ujarnya. Larisnya film horor di Canne dimaklumi Hanung Bramantyo Sutradara Ayat-Ayat Cinta (AAC) itu menilai, genre horor merupakan tema yang diminati dunia. ”Hakikat manusia itu selalu ingin tahu apa yang membuat penasaran. Mistik salah satunya,” katanya. Terlebih, tambah Hanung, setiap film horor itu membawa kultur negara pembuatnya. ”Pocong dan Sundel Bolong itu cuma ada di Indonesia. Hantu Jepang beda lagi. Jangan remehkan film horor. Tapi yang jadi masalah, film horor di Indonesia itu tidak dibikin serius, kritiknya.


Sumber : Jawa Pos, 10 Juni 2009

 

Copyright © 2009 by My Xperience

Template by Blogger Templates | Powered by Blogger